Beranda | Artikel
Bantahan Telak Bagi Pelaku Bidah
Jumat, 1 Mei 2020

Ketika ahlul bidah dinasehati agar jangan melakukan bid’ah, mereka akan mengatakan “ini kan baik, kenapa anda melarang orang berbuat baik?”

Mengapa Pelaku Bid’ah Sulit Bertaubat?

Orang-orang yang terjerumus dalam kebid’ahan, mereka menyangka kebid’ahan yang ada pada mereka itu sebagai kebaikan. Sehingga sulit bagi mereka untuk bertaubat dari kebid’ahan tersebut. Dan ketika diingkari oleh Ahlussunnah, mereka malah menuduh Ahlussunnah mengingkari kebaikan.

Misalnya, orang-orang yang melakukan dzikir-dzikir bid’ah, ketika dinasehati mereka malah mengatakan, “mengapa kalian mengingkari dzikir? Apakah kalian benci dzikir?”.

Orang-orang yang membaca shalawat-shalawat bid’ah, ketika dinasehati mereka mengatakan, “mengapa kalian mengingkari shalawat? Apakah kalian benci shalawat?”. Dan seterusnya.

Baca Juga: Menjelaskan Bid’ah Bukan Berarti Memvonis Neraka

Nasihat Ulama Tentang Pelaku Bid’ah

Perhatikan nasehat Sa’id bin Musayyab rahimahullah berikut ini.

Sa’id bin Musayyab adalah seorang ulama besar di kalangan tabi’in, yang beliau dijuluki “alim ahlil Madinah” (ulamanya penduduk Madinah) dan juga “sayyidut tabi’in” (pemimpinnya para tabi’in). Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya,

رأى سعيد بن المسيب رجلا يصلي بعد طلوع الفجر أكثر من ركعتين يكثر فيها الركوع والسجود فنهاه. فقال: يا أبا محمد! أيعذبني الله على الصلاة؟! قال: لا ولكن يعذبك على خلاف السنة

“Sa’id bin al Musayyab melihat seorang yang shalat setelah terbit fajar lebih dari dua raka’at, yang ia memperpanjang rukuk dan sujudnya. Lalu Sa’id bin al Musayyab melarangnya. 

Maka orang tadi berkata: Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengazab saya gara-gara saya shalat?

Sa’id bin al Musayyab menjawab: bukan demikian, namun Allah akan mengazabmu karena menyelisihi sunnah” (Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 2/466, Ad Darimi 1/404-405, dishahihkan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 2/236).

Ketika ahlul bidah dinasehati agar jangan melakukan bid’ah, mereka akan mengatakan “ini kan baik, kenapa anda melarang orang berbuat baik?”. Maka jawaban Sa’id bin Musayyab rahimahullah adalah jawaban telak. Yang dilarang bukan ibadahnya, namun bagian dari ibadah tersebut, baik penetapannya, tata caranya, pengkhususan waktu atau tempatnya, jumlah bilangannya dan semisalnya yang tidak ada tuntunannya dari sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan mengatakan:

وهذا من بدائع أجوبة سعيد بن المسيب – رحمه الة تعالى -, وهو سلاح قوي على المبتدعة الذين يستحسنون كثيرا من البدع باسم أنها ذكر وصلاة ثم ينكرون على أهل السنة إنكار ذلك عليهم ويتهمونهم بأنهم ينكرون الذكر والصلاة!! وهم في الحقيقة إنما ينكرون خلافهم للسنة في الذكر والصلاة ونحو ذلك

“Ini merupakan diantara jawaban yang sangat telak dari Sa’id bin al Musayyab. Dan ini juga merupakan senjata bagi para ahlul bid’ah yang mereka menganggap baik banyak sekali perbuatan bid’ah, dengan mengatakan bahwa yang mereka lakukan itu dzikir dan shalat. 

Kemudian mereka malah mengingkari Ahlussunnah yang mengingkari bid’ah mereka dengan mengesankan bahwa Ahlussunnah mengingkari dzikir dan shalat! 

Padahal yang diingkari oleh Ahlussunnah adalah penentangan mereka terhadap sunnah dalam dzikir dan shalat serta ibadah lainnya” (Irwa’ul Ghalil, 2/236).

Baca Juga: Sisi Lain Amalan Bid’ah Yang Sering Dilupakan

Para Sahabat Nabi Mengingkari Amalan Bid’ah

Demikian pula para sahabat Nabi ridhwanullah ‘alaihim, mereka mengingkari orang yang melakukan ibadah jika disertai kebid’ahan. Walaupun niatnya baik dan bentuknya adalah ibadah. Sebagaimana Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau mengingkari orang-orang yang berdzikir secara berjama’ah di masjid. Dikisahkan oleh Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu:

قال رأيتُ في المسجدِ قومًا حِلَقًا جلوسًا ينتظرون الصلاةَ في كلِّ حلْقةٍ رجلٌ وفي أيديهم حصًى فيقول كَبِّرُوا مئةً فيُكبِّرونَ مئةً فيقول هلِّلُوا مئةً فيُهلِّلون مئةً ويقول سبِّحوا مئةً فيُسبِّحون مئةً قال فماذا قلتَ لهم قال ما قلتُ لهم شيئًا انتظارَ رأيِك قال أفلا أمرتَهم أن يعُدُّوا سيئاتِهم وضمنتَ لهم أن لا يضيعَ من حسناتهم شيءٌ ثم مضى ومضَينا معه حتى أتى حلقةً من تلك الحلقِ فوقف عليهم فقال ما هذا الذي أراكم تصنعون قالوا يا أبا عبدَ الرَّحمنِ حصًى نعُدُّ به التكبيرَ والتهليلَ والتَّسبيحَ قال فعُدُّوا سيئاتِكم فأنا ضامنٌ أن لا يضيعَ من حسناتكم شيءٌ ويحكم يا أمَّةَ محمدٍ ما أسرعَ هلَكَتِكم هؤلاءِ صحابةُ نبيِّكم صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ مُتوافرون وهذه ثيابُه لم تَبلَ وآنيتُه لم تُكسَرْ والذي نفسي بيده إنكم لعلى مِلَّةٍ هي أهدى من ملةِ محمدٍ أو مُفتتِحو بابَ ضلالةٍ قالوا والله يا أبا عبدَ الرَّحمنِ ما أردْنا إلا الخيرَ قال وكم من مُريدٍ للخيرِ لن يُصيبَه إنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ حدَّثنا أنَّ قومًا يقرؤون القرآنَ لا يجاوزُ تراقيهم يمرُقونَ من الإسلامِ كما يمرُقُ السَّهمُ منَ الرَّميّةِ وأيمُ اللهِ ما أدري لعلَّ أكثرَهم منكم ثم تولى عنهم فقال عمرو بنُ سلَمةَ فرأينا عامَّةَ أولئك الحِلَقِ يُطاعِنونا يومَ النَّهروانِ مع الخوارجِ

“Abu Musa Al Asy’ari berkata: aku melihat di masjid ada beberapa orang yang duduk membuat halaqah sambil menunggu shalat. Setiap halaqah ada seorang (pemimpin) yang memegangi kerikil, kemudian ia berkata: bertakbirlah 100 kali! Maka para pesertanya pun bertakbir 100 kali. Kemudian pemimpinnya berkata: bertahlil lah 100 kali! Maka para pesertanya pun bertahlil 100 kali. Kemudian pemimpinnya berkata: bertasbih lah 100 kali! Maka para pesertanya pun bertasbih 100 kali. 

Ibnu Mas’ud berkata: lalu apa yang engkau katakan kepada mereka wahai Abu Musa? Abu Musa menjawab: aku tidak katakan apapun karena menunggu pandanganmu. Ibnu Mas’ud berkata: mengapa tidak engkau katakan saja pada mereka: hitunglah keburukan-keburukan kalian saja, maka aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sama sekali. 

Kemudian Ibnu Mas’ud pergi dan kami pun pergi bersama beliau. Sampai pada suatu hari Ibnu Mas’ud mendapati sendiri halaqah tersebut. Lalu beliau pun berdiri di hadapan mereka.

Ibnu Mas’ud berkata: apa yang kalian lakukan ini? Mereka menjawab: Wahai Abu Abdirrahman, ini adalah kerikil untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih! Ibnu Mas’ud berkata: hitunglah keburukan-keburukan kalian saja, maka aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sama sekali. Wahai umat Muhammad, betapa cepatnya kalian binasa! Demi Allah, yang kalian lakukan ini adalah ajaran agama yang lebih baik dari ajaran Muhammad atau kalian sedang membuka pintu kesesatan!

Mereka mengatakan: Wahai Abu Abdirrahman, kami tidak menginginkan apa-apa kecuali kebaikan! Ibnu Mas’ud menjawab: betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah mengatakan kepada kami tentang suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an akan tetapi (bacaan mereka) tidak melewati tenggorokan mereka, demi Allah, saya tidak tahu bisa jadi kebanyakan mereka adalah dari kalian. Kemudian Ibnu Mas’ud meninggalkan mereka”. 

Amr bin Salamah berkata , ”Kami melihat kebanyakan orang-orang yang ada di halaqah itu adalah orang-orang yang ikut melawan kami di barisan khawarij pada perang Nahrawan” (Diriwayatkan Ad Darimi dalam Sunan-nya no.210, dishahihkan Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah, 5/11).

Lihatlah! Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu mengingkari orang-orang yang berdzikir, namun dzikir mereka dengan tata cara yang bid’ah. Apakah kita akan menuduh Ibnu Mas’ud melarang orang berdzikir?! Tentu tidak, karena yang beliau ingkari bukan ibadah dzikir namun dzikir yang disertai kebid’ahan.

Maka kebid’ahan tetaplah buruk walaupun dinamakan sebagai ibadah atau dzikir atau shalawat atau doa atau sebutan-sebutan baik lainnya. Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma mengatakan:

كلُّ بدعةِ ضلالةٍ وإن رآها النَّاسُ حَسنةً

“Setiap kebid’ahan itu sesat walaupun manusia menganggapnya baik” (Diriwayatkan Ibnu Bathah dalam Al Ibanah no. 175, Al Lalika-i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlissunnah no. 104, dishahihkan Al Albani dalam Ishlahul Masajid hal. 13).

Baca Juga:

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama


Artikel asli: https://muslim.or.id/55961-bantahan-telak-bagi-pelaku-bidah.html